“Kita menyelak di sebalik tirai awan malam
Mencari sinar bulan ke mana menghilang
Entah ke sayup bintang mana kita mencarinya
Aneh, cahaya kucari jenuh begitu
Sedar-sedar dalam hatimu cahaya itu berpadu!”
Bicaraku,
Mungkin ada waktunya, kita tidak bisa menerka pinar-pinar dan pijar-pijar rasa. Kesunyian ini menjemputku untuk memerdekakan segala duka dan gundah. Apabila aku memandang mastika jiwa ini dengan penuh tekun, apa yang aku dapati hanyalah sekadar murajaah sahaja. Tidak lebih daripada itu. Aku cukup yakin sebenarnya, dalam perjalanan ini perlunya kembali. Kembali ertinya engkau sudah siaga dalam mengenal jalannya dan cahaya itu sebagai suluhannya. Aku sering tertanya-tanya, kenapakah bulan yang sentiasa di atas sana, tertera bayangnya dalam tenangnya air tanpa riak?
Bicaramu,
Bulan tersenyum dan memandang hatiku. Tenungnya asyik dan aku tertunduk, tidak bisa mengangkat muka. Tapi, pujaku ini tidaklah rahsia, kataku padanya. Bulan hening cahaya. Katanya, simpanlah senyumannya dengan penuh ampuh dalam rahsia. Ini satu amanah. Aku sekadar bisa membelah hati ini. Maka, aku tempatkan kasih bulan padaku pada tempat paling hampir. Kiranya engkau bisa mengandaikan aku dan bulan itu satu. Aku sedar, aku sekadar menyimpan senyumnya dan bukanlah memilikinya secara mutlak. Pun begitu, aku cukup puas. Setidak-tidaknya, bulan itu telah melirihkan senyumnya penuh ikhlas padaku.
"Bulan, bilakah lagi kita akan memintal lagu cinta setia?"
Bicaraku,
Tebar semarak cahaya pada kaki langit jiwa ini. Biar kiasan itu bukan menjadi sekadar hiasan pada dirimu. Ini awan larat kusematkan di dadamu. Itu penawar duka, juga sebagai tanda aku melafazkan setia. Perhatikan padanya, aku telah menempanya dengan seribu warna gemilang cahaya. Serinya sinar bintang kejora. Terbit waktu pagi, senyumnya semanis bidadari!
Dakap dengan erat akan kalbumu
Itu ertinya kasih dan rindu
Makanya, kita bisa dewasa!
Bicaramu,
Semalam aku nanar dan aku melelarkan sejuta ingatan padamu. Tidak pernah kunjung putus. Elusan jiwa apakah ini? Lembut pesona, tapi buat kesekian kalinya, aku terbunuh. Saking sempurna bisikannya, aku terpaut tanpa berpaling. Bulan ketawa menampakkan lesung pipitnya, bibirnya delima merkah.
"Aduhai kelkatu,
Di manakah sayap sayangmu?"
"Sayapku telah lama gugur, namun kudratku tidak pernah luntur!"
Bicaraku,
Akupun tidak lama di sini. Sudah sekian lama aku memugar rindu setia, dan sesungguhnya aku telah melihat bulan itu semakin cemerlang sinarnya, sedikitpun tidak pernah tercalar.
Jenuh bermandikan cinta ini, hatiku semakin mengungsi!!!
Itu takdir bulan.
Aku meleraikan segala rengkuh pesona berahi pada jiwa penuh berani! "Engkau seorang majnun!" Ujarnya. Aku akur, tidak bisa mengelak lagi. Sebelum inipun aku tidak pernah menyongsang arah. Segala pendam gelora ini kuhambur tanpa ada sisa. Salahkah aku untuk mengisytiharkan cinta padanya. Aku bukannya riak atau ujub, tapi sekadar menyatakan bahawasanya laungan itu adalah buat dia! Hei, bukankah engkau telah memanggil diriku dengan nama si gila? Maka biarkan aku dengan kegilaan ini!
Sesungguhnya kegilaan itu adalah cinta paling dasar!
Bicaramu,
Sewaktu-waktunya aku terpegun dalam kehadiran keasyikan ini. Hadirnya tidak pernah membuat aku kecewa. Tidak pernah tentu masa dan setiap ketika yang ada terasakan bersangatan adanya. Justeru, biarlah segala pujuk dan rayu ini kuhamburkan kepadanya tanpa ada rasa payah. Biar lumat dan lunas segalanya. Hei, jika cinta itu dapat dimesrai dan dicumbui penuh sempurna, bilakan masa hati akan pernah terluka?
Semoga laut lepas itu tidak pernah akan surut airnya. Kalaulah kutahu, bulan itu bisa membuatkan laut terpukau, maka sudah tentu aku ingin menjadi bulan.
"Bulan bisa membuat lautan tumpah?"
Tapi, bulan pun bukan kekal cahayanya. Datang siang sirnalah cemerlangnya. Betah menumpang cahaya, cahaya yang mana maka tidak kelam kemilaunya?
Bicaraku,
Aku tidak kisah sebenarnya. Jeritan paling kuat sebenarnya adalah tanpa suara! Engkau paling layak membilang cahaya. Ke mana pergi rebakannya yang tidak lagi membias pada cermin masa? Entahlah bagaimana rupanya engkau menaruh cinta setenang itu. Katamu, ini untuk membuat mereka percaya bahawa cintamu adalah semanis madu. Mungkinkah tenangnya laut tercemar dek gelombang hitam gelodak perasaan? Atau cintamu telah menghunjam ke dasar jiwa tanpa ada sebarang makna yang perlu kita fahami. Engkau berkata sungguh aneh. Tanpa mengetahui tentang ertinya, tetapi engkau merasai! Bulan cukup aneh!
Bicaramu,
Cinta itu adalah sebagai air sejuk kala kemarau. Biarpun setitis tetapi nilainya melebihi segala. Demi cinta dan rindu, engkau dan aku cuba mencari titik pertemuan. Aku terkenangkan kisah Nabi Musa dan Khidir yang bertemu pada pertemuan dua lautan. Aku rasa cinta mereka melebihi lautan. Lautan umpama cinta. Lantas aku termangu dengan persoalan, apa yang bakal terjadi apabila lautan bertemu lautan dan cinta bertemu cinta?
Itu, gelora rasa yang telah terpendam sekian lama
Itu, hati pujangga yang lara hatinya
Itu adalah si dia yang bermadah penuh jiwa
Katanya bicara cinta adalah tanpa suara!
Bicaraku,
Soalnya,aku mula menyoal pada diriku sendiri untuk apa cinta ini? Kenapa cinta adalah perlu? Tidak boleh hidupkah tanpa adanya cinta? Bulan tersenyum. Dia tahu, pungguk tidak boleh hidup tanpa cintanya. Kelkatu pun sanggup berkorban untuk meraih dirinya. Aku pun tidak tahu siapa yang menang dalam kisah ini. Bulan terbelah dua, betul. Lalu, siapakah yang berhak untuk sisinya yang terang dan siapa pula yang berhak untuk sisinya yang kelam?
“Bulan, engkau tetap cemerlang walaupun daripada sudut yang gelap!”
Bicaramu,
Aku menafikan cinta yang lain dan sewaktu-waktunya aku mengakui cintaku padamu. Terhentinya kata-kataku, tidak semestinya terkubur jua cintaku. Tapi ketika suaraku tiada terdengar, sebenarnya aku sedang berkata-kata dengan mu! Tidakkah engkau mendengarnya? Segala sendu telah terlepas dan kini telah menyalalah semarak asmara!
“Dalam wahdatul-wahdatul ini perlunya kepada wahdatul yang lain?”
Dia bertanya.
Aku telah bilang padanya.
“Aku punya hak dalam wilayah cinta ini
Ini adalah kemutlakan yang tidak ada padanya sangsi-sangsi!”
Bicaraku,
Engkau telah mengizinkan aku menumpang cahayamu! Membuat hati telah tumpah dengan segala macam rawan yang tidak mungkin sembuh. Tiada rasa seumpamanya yang telah membuatkan hati ini terpamit untuk membuka segala kelapangan. Aku cemburu sebenarnya dengan dia yang bisa memberikan segala cinta tanpa ada yang memaksa. Andainya dia dicintai, katanya maka dia akan membalas cinta itu dengan cinta yang tidak pernah ada sepertinya. Aku akur, bahawasanya untuk nya dan di sisinya telah damailah segala jiwa.
Bicaramu,
Indahnya apabila hati ini telah mendapatkan segala yang dihajatinya. Serasakan tiada apa-apa lagi yang bisa menggantikan kesempurnaan ini. Kiranya segalanya telah kamil, maka mengapa perlu ada rasa yang lain? Dia membenarkan. Pungguk dan kelkatu tersenyum menerima cinta si bulan! Meraka semua telah menang pada sisi mereka masing-masingnya.
Bicaraku,
Percikan itu bisa menambahkan cahaya cinta kata mereka lagi. semuanya membenihkan sejuta semadi yang tidak perlu lagi kepada kebingitan. Cukup tatasusilanya, penuh adab. Di suatu waktu itu dia mendapatkan segala hakikat dan natijah atas segala jerih dan payah. Aduhai, aku kagum yang sungguh-sungguh terhadap pengabdiaanya. Apakah bisa ada lagi sepertinya yang bisa merobekkan segala naluri? Aku inginkan cinta sepertinya! Cinta sepertinya! Dan cinta sepertinya!
Bicaramu,
Jilah! Itu perkataan paling tepat saat ini! Lipatan rasa hati ini adalah hikayat-hikayat yang mencipta sejarah dan segala mungkin. Bentak-bentak hatinya yang dahulu rupanya pengzahiran kepada rasa yang inilah! Lewat pertemuan untuk mencapaikan si dia yang hakiki, entah apa gerangan yang telah menarik hatinya bagi mendekatkan waridah. Aku pun tidak pasti. Tapi aku tahu itu telah diawali dengan sebuah perjalanan yang maha panjang. Aku tidak tahu di mana terhentinya masa pada sisi cinta itu!
“Bintang-bintang gugur!
Bintang-bintang gugur!”
27 December 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment